Momen mudik lebaran kemarin membuat saya ingin menulis sesuatu tentang kota asal saya, Semarang. Kota yang kalah pamor dengan Jogja ini tetap memiliki beberapa destinasi wisata menarik beserta kuliner khasnya.

Sebagai kota pesisir pantai, pengaruh budaya Tiongkok terasa kental di sini. Ditambah dengan bangunan-bangunan peninggalan kolonial Belanda, membuat kota ini layak untuk kamu singgahi sebelum berwisata ke Solo dan Jogja.

Semisal kamu main ke Tugu Muda dan Lawang Sewu yang angker itu, pastinya tidak ingin melewatkan Jalan Pemuda dan Pandanaran begitu saja. Tentunya dengan tujuan untuk icip-icip kuliner dan membeli oleh-oleh khas Semarang.

Suasana Jalan Pandanaran Semarang
Suasana kawasan Jalan Pandanaran, Semarang. (foto: Nasir Udin)

Dengan lokasi yang dekat dengan bangunan Lawang Sewu, kawasan Pandanaran ini terkenal sebagai surga oleh-oleh khas Semarang. Banyak toko-toko besar maupun lapak pedagang menjajakan dagangannya di sepanjang jalan ini. Ada lumpia, bandeng Juwana, kue moaci, roti ganjel rel, dan salah satu makanan yang mudah ditemukan yaitu wingko babat.

Kalau kamu ke Jogja, ada Bakpia Pathok “25” dimana pembeli bisa melihat langsung proses produksinya. Nah kalau di Semarang, penasaran nggak sih bagaimana wingko babat ini dibuat?

Kali ini saya bersama teman saya, Gilang, mendapat kesempatan untuk melihat langsung bagaimana wingko babat dibuat. Tentunya bukan di toko, melainkan di sebuah rumah yang dijadikan tempat produksi.

Bermula dari sebuah lapak wingko di Jalan Pandanaran, saya bertanya kepada penjualnya dimana wingko ini diproduksi.

“Oh pas banget mas, sebentar lagi yang ngirimin (wingko) datang. Nanti bilang aja mau ikut”, begitu kira-kira ucap si penjual wingko.

Begitu tiba di rumah, saya langsung disambut oleh si pemilik usaha wingko ini. Pak Lis, begitulah beliau biasa dipanggil. Setelah berkenalan singkat dan mengutarakan maksud kedatangan saya, beliaupun mempersilakan saya untuk mendokumentasikan proses pembuatan wingko babat.

Saya masuk ke area tengah. Di sana banyak pegawainya yang sedang menyiapkan proses pengemasan.

Pengemasan Wingko Babat
Selesai satu dus wingko. Makan dulu. (foto: Nasir Udin)

Tak selang lama, ada seorang tamu. Ternyata dia adalah seorang penyetor bahan utama pembuatan jajanan enak ini. Ya, bahan parutan kelapa didapat dari seorang penyetor. Hal ini lebih praktis daripada harus belanja kelapa dan memarutnya terlebih dahulu.

Proses Mencetak Adonan Wingko Babat
Proses mencetak adonan wingko babat. (foto: Nasir Udin)

Memasuki ruang yang lebih dalam, saya bertemu dengan tiga orang bapak-bapak. Satu orang sedang membuat adonan. Dua orang lainnya mencetak adonan menjadi kecil-kecil. Bahan yang digunakan untuk membuat adonan adalah kelapa, tepung ketan, gula dan tambahan perisa untuk varian rasa-rasa. Dan proses pencetakannya dilakukan secara manual tanpa cetakan.

Masuk ke ruang paling ujung, hawa panas mulai terasa. Di sinilah proses pemanggangan wingko. Adonan yang sudah dicetak kecil-kecil di loyang dimasukkan ke dalam sebuah oven tradisional berukuran besar. Oven ini menggunakan panas dari api. Dan sekali memanggang bisa menghasilkan 10 loyang wingko babat.

Proses Pemanggangan Wingko Babat
Proses pemanggangan wingko babat

Setelah matang, wingko dari loyang ditumpuk ke tampah untuk dibawa ke ruang tengah. Di sana sudah banyak pegawai yang siap untuk melakukan pengemasan. Ada yang dikemas ke dalam kardus untuk dijual eceran. Ada pula yang dikemas ke dalam tas kecil dikelompokkan berdasarkan rasanya. Rasa coklat, nangka, original, dan campuran.

Dengan ikut nimbrung bersama mereka, saya pun tahu bahwa kebanyakan dari mereka adalah tetangga Pak Lis sendiri.

Pengemasan Wingko Babat
Proses mengemasi wingko babat yang baru matang. (foto: Nasir Udin)

Yup, bisnis UMKM selalu memberdayakan warga sekitar. Hal ini bisa mengurangi angka nggosip emak-emak ala sinetron yang tidak produktif. Walaupun saat bekerja mereka bisa nggosip, tapi kan masih tetap produktif. Hahaha

Setelah proses pengemasan selesai, saya pun pamit pulang. Dan asyiknya saya malah dikasih oleh-oleh wingko babat satu tas. Alhamdulillah. Saya pun memilih rasa favorit saya, rasa original atau plain.

Tentang Pemilik

Pengusaha Wingko Semarang
Pak Lis, pemilik usaha wingko Semarang.

Ngobrol-ngobrol dengan si pemilik, saya mendapat cerita menarik darinya. Pak Lis, yang bernama lengkap Suliman ini, berasal dari Wonogiri dan pindah ke Semarang pada tahun 1973. Dulu beliau berjualan wingko di tempat pemberhentian bus. Dan wingko yang dijual bukan produksinya sendiri.

Setelah hampir 30 tahun, tepatnya pada tahun 2002, barulah beliau memulai usaha wingkonya sendiri. Namanya pun WIngko cap ‘Bus Bisnis’ terinspirasi dari pengalaman hidupnya.

Hingga kini, pedagang yang menjual wingkonya ada di tiga tempat, jalan Pandanaran, Masjid Agung Jawa Tengah, dan di PRPP. Dan ternyata rumah yang digunakan sebagai tempat produksi ini tidak dijadikan sebagai tempat tinggalnya. Beliau tinggal di rumahnya yang berada di tempat lain.

Nah, kita sudah tahu bagaimana wingko babat dibuat beserta profil pengusahanya. Sekarang apakah kamu tertarik atau terpikir untuk buka usaha jajanan khas daerahmu? Atau malah punya kisah lain yang serupa? Boleh komen di bawah ya, guys..

Salam lemper!

Hai, saya Nasir, seorang freelance designer yang suka jalan-jalan. Dengan bekerja secara independen di beberapa design marketplace, membuat saya bisa membawa pekerjaan kemanapun saya pergi.

Write A Comment

Scroll top