Sebagai salah satu penyelenggara Asian Games 2018, Palembang tentunya akan menjadi tujuan wisata para travelers. Selain merasakan kemeriahan pesta olahraga ini, teman-teman pasti juga butuh jalan-jalan kan?
Berikut ini catatan perjalanan saya sewaktu di Palembang beberapa bulan lalu, tepatnya pada saat festival Cap Go Meh. Semoga bisa menjadi referensi.
Beberapa hari setelah hari raya Imlek kemarin, saya dan istri penasaran ingin menyaksikan festival Cap Go Meh di Singkawang. Di Indonesia, ada beberapa kota yang terkenal festive dengan event ini, di antaranya adalah Singkawang, Semarang, dan Palembang.
Tujuan yang sebenarnya ingin kami kunjungi adalah Singkawang. Namun di hari itu ternyata semua hotel di Singkawang sudah full-booked semua. Akhirnya pilihan jatuh ke Palembang karena sudah pernah merasakan festival yang di Semarang. Lha wong kita berdua asli Semarang.
Kami berangkat dari Bali pada H-1 Cap Go Meh atau H+14 Imlek. Tiba di bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang siang hari, kami berdua sudah dijemput Bang Gerry untuk sewa motor yang sudah saya booking beberapa hari sebelumnya.
Pemandangan selama perjalanan dari bandara menuju hotel menunjukkan bahwa ‘kota pempek’ ini sedang melakukan pembangunan besar-besaran secara serentak di berbagai tempat. Kejar target lah ya untuk event Asian Games 2018 bulan Agustus nanti, terutama jalur LRT-nya.
Tempat kami menginap berada di daerah Sekip. Tidak jauh dari jembatan Ampera dan tidak berada di jalan utama, jadi suasananya tidak terlalu bising.
Oke, sudah dapat motor dan check-in hotel, saatnya keliling kota Palembang!
Pulau Kemaro
Tujuan utama kami ke kota tertua di Indonesia ini adalah pulau Kemaro. Sebuah pulau kecil yang terletak di sungai Musi. Pada saat perayaan Cap Go Meh, pulau ini banyak dikunjungi wisatawan keturunan Tionghoa, baik lokal maupun luar negeri.
Kalau pada hari biasa, untuk menuju pulau ini harus naik perahu. Namun pada saat perayaan Cap Go Meh kemarin, kita bisa menyeberang ke pulau ini dengan jalan kaki! Di sini telah disediakan jembatan yang disusun dari enam kapal ponton yang saling menyambung.
Titik penyeberangan yang kami tuju adalah kantor Pusri di daerah Kalidoni. Untuk event ini, disediakan area parkir berupa lapangan yang sangat luas serta arus sirkulasi kendaraan diatur dengan sangat baik.
Perayaan Cap Go Meh di pulau Kemaro memiliki perbedaan dengan di daerah lain. Di sini ada ritual penyembelihan kambing, tepatnya pada tengah malam saat puncak perayaan Cap Go Meh.
Hal tersebut tak lepas dari legenda pulau ini sendiri. Pulau ini mengisahkan sepasang kekasih, yakni Siti Fatimah dan Tan Bun An yang berakhir tragis di sungai Musi. Kisah ini abadi dalam prasasti Pulau Kemaro.
Kisah tentang pulau Kemaro ini akan saya post di artikel berikutnya.
Hutan Konservasi dan Hutan Wisata Punti Kayu
Hari ke-dua di Palembang, kami jalan-jalan keliling kota dan berhenti di Punti Kayu, sebuah hutan wisata di tengah kota Palembang.
Kesan pertama saat memasuki gerbang loket, tempat ini nampak kusam seperti kurang terawat. Kalau disebut sebagai hutan konservasi, saya setuju. Namun kalau disebut sebagai hutan wisata, sepertinya butuh perawatan lebih baik.
Wisatawan diperbolehkan berkeliling hutan ini dengan menggunakan sepeda motor (sesuai jalur kendaraan). Jadi bisa parkir di depan area wahana-wahana yang disediakan, antara lain: Kid Water Park, Mini Zoo, jembatan gantung, dan tentunya area outbond.
Tak lama kami di sini. Begitu jalur kendaraan sudah mentok, saya langsung putar balik. Setelah dari hutan Punti Kayu, kami sempat nonton bioskop terlebih dulu, karena memang sudah lama menunggu film Red Sparrow tayang. Haha.
Icip-icip Pempek Panggang Di Pempek Saga
Wisata ke Palembang belum sah kalau belum makan pempek. Salah satu rumah makan pempek yang terkenal di Palembang adalah Pempek Saga. Katanya sih Pempek Saga ini adalah yang tertua di Palembang. Dan terkenal dengan pempek panggangnya.
Baru di Palembang ini saya menemukan pempek panggang, yang umumnya di kota-kota lain adalah pempek goreng. Terasa jauh lebih enak makan pempek asli dari kota asalnya. Teksturnya beda dan kuahnya terasa lebih gurih-gurih segar gitu deh.
Lokasi rumah makan ini sangat dekat dengan benteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera. Selain Pempek Saga, di sepanjang jalan di kota ini banyak sekali resto pempek. Papan nama yang sering saya lewati antara lain Pempek Candy, Pempek Lince, Pempek Nony, dan Pempek Lala.
Kalau kalian penasaran dan belum sempat ke Palembang, coba deh beli online di toko Bukalapak ini. Banyak resto pempek di sini yang melayani pengiriman ke luar kota. Jadi kita tinggal order, besoknya udah bisa makan pempek. Asli Palembang!
Jembatan Ampera
Tempat untuk menikmati santai sore hari di Palembang ya sudah pasti di tepian sungai Musi di seputaran jembatan Ampera.
Dimulai selepas salat ashar di Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin, kami jalan-jalan sore di atas jembatan Ampera. Di atas jembatan sepanjang 1 km ini, kita bisa melihat banyak kapal besar dan kecil berjalan di atas sungai Musi.
Informasi yang saya dapat dari Kampung Kapitan, banyak emas dan benda-benda sisa kejayaan Sriwijaya yang terkubur di dasar sungai ini.
Di seputar landmark Palembang ini terdapat beberapa destinasi, antara lain Monumen Perjuangan Rakyat, Museum Sultan Badarudin, Benteng Kuto Besak, Monumen Ikan Belido, dan yang paling asyik warung terapung di sungai Musi.
Di sini banyak warung-warung terapung dengan menyulap kapal nelayan menjadi warung. Namun sayangnya warung-warung ini selalu ramai, jadi kalian harus sabar untuk mendapatkan tempat kosong.
Kampung Kapitan
Hari ke-tiga di Palembang, kami melanjutkan jalan-jalan ke Kampung Kapitan. Sebuah komplek rumah keluarga Tionghoa yang terletak di Kelurahan 7 Ulu, berhadapan dengan Sungai Musi, dan berseberangan dengan Benteng Kuto Besak.
Dibangun oleh Tjoa Han Him pada tahun 1644, rumah yang didirikan di kampung ini hampir semuanya terbuat dari kayu. Dengan gaya bangunan yang merupakan perpaduan antara arsitektur Palembang, Cina, dan Belanda.
Dari segi eksterior, rumah ini berbentuk rumah panggung dengan atap limas. Sedangkan bagian interiornya bergaya Tiongkok yang penuh dengan warna merah dan emas. Gaya Belanda tampak pada bangunan yang dijadikan kantor, dari sisi luar berdiri tiang-tiang yang kokoh khas Eropa.
Ulasan lebih panjang tentang Kampung Kapitan ini akan saya post di artikel selanjutnya.
Kampung Arab
Setelah dari Kampung Kapitan, tujuan saya selanjutnya adalah kampung Arab, yang letaknya tak jauh dari Kampung Kapitan.
Seperti kota-kota perdagangan lain di Indonesia, masyarakat Palembang juga tergolong multi-etnis. Ada yang keturunan Tionghoa, ada yang keturunan India, ada pula yang keturunan Arab.
Dari kampung Kapitan, kami menyusuri jalan sepanjang sungai Musi dan melewati bawah jembatan Ampera. Tak lama kemudian sampailah kami di Kampung Arab. Namun sayangnya waktu itu adalah hari Jumat dimana kampung ini ternyata tidak menerima kunjungan wisatawan.
Jadi, salah satu tips travelling ke Palembang adalah jangan ke Kampung Arab pada hari Jumat.
Martabak HAR, Paduan Resep Lokal dan India
Setelah agak kecewa karena tidak jadi masuk ke Kampung Arab, kami pun cari makan. Salah satu kuliner yang bisa dinikmati di Palembang adalah martabak HAR. Penyajian martabak telor ayam/bebek ini dilengkapi dengan kuah kari kental yang begitu sedap.
Penggabungan resep lokal (martabak) dengan resep kari dari India, membuat kelezatan martabak HAR ini sangat legendaris. Kalau kata istri saya,”Nggak pernah ada martabak seenak ini!”
Ngobrol-ngobrol dengan penjaga warung, ternyata pemilik resep ini adalah seorang pedagang keturunan India. Haji Abdul Rozak namanya. Makanya martabak ini diberi nama martabak HAR.
Oke, saya rasa catatan perjalanan ini cukup untuk dijadikan referensi travelling tiga hari di Palembang. Walau sebenarnya dijadikan dua hari juga cukup.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kamu yang mau main ke Palembang saat Asian Games nanti. Kalau kamu juga punya pengalaman di Palembang, boleh dong di-share di sini.
Salam olahraga!