Berawal dari rasa penasaran saya tentang pembuatan kapal Pinisi yang melegenda itu, berangkatlah saya ke Bulukumba. Kunjungan ini saya lakukan di hari-hari saat saya sedang menikmati long stay satu bulan di Makassar. Jadi freelance designer mah tinggal dimana aja bebas! Hahaha

Kapal Pinisi telah menjadi ikon bagi Suku Bugis dan Makassar, bahkan dunia bahari Indonesia. Pinisi pun telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya. Dan masyarakat Bulukumba telah dikenal secara turun-temurun sebagai pembuat kapal kayu besar tersebut hingga saat ini, terutama di daerah Tanah Beru.

Oke, berbekal sedikit info dari beberapa blog, saya dan istri pun berangkat. Tujuan pertama sekaligus tempat menginap kami adalah Tanjung Bira. Berdasarkan Google Maps, perkiraan lama perjalanan dari Makassar ke Tanjung Bira adalah 5 jam. Kalo ditambah macetnya Makassar dan waktu istirahat, kira-kira jadi 6-7 jam lah ya.

Kami berangkat menggunakan motor yang saya sewa selama sebulan di Makassar. Fyi, kondisi jalanan di kota Makassar ini tak jauh beda dengan Jakarta. Perilaku pengendara yang tak sabaran bisa kita lihat di semua jalanan yang kita lewati. Klakson-klakson nggak penting selalu terdengar. Menerobos lampu merah secara berjamaah menjadikan macet tambah parah. Hahahaha

Begitu keluar dari Makassar, masuk kabupaten Gowa kemacetan pun sudah hilang. Jalur yang kami lewati adalah Makassar – Gowa – Takalar – Jeneponto – Bantaeng – Bulukumba. Saya memilih lewat jalur selatan ini untuk menghindari medan yang berbukit-bukit, tanjakan, dan berkelak-kelok khas dataran tinggi Malino.

Perjalanan terasa menyenangkan ketika telah sampai Jeneponto dan Bantaeng. Hampir sepanjang jalan kami melihat laut di sisi kanan, dan gunung di sisi kiri.

Pemandangan Alam di Jalur Jeneponto Bantaeng

Pantai Bara dan Tanjung Bira

Sore hari, sampailah kami di Tanjung Bira. Di sepanjang jalan menuju pantai ini terdapat banyak penginapan. Kami memilih penginapan yang lokasinya dekat pantai Bira (saya lupa nama penginapannya) dengan tarif 350 ribu permalam. Setelah istirahat sebentar, kami ingin menuju ke pantai Bara terlebih dulu yang lokasinya tak jauh dari Bira. Untuk menuju ke sana kami menyusuri sedikit perumahan dan hutan dengan jalan bebatuan. Banyak juga penginapan di area hutan ini, tentunya dengan view menghadap ke laut.

Tak lama kami pun sampai di pantai Bara. Pantai ini tergolong masih sangat sepi pengunjung.

Pantai Bara Bulukumba
Pantai Bara, Bulukumba

Pantai Bara masih segaris dengan pantai Bira. Kalau mau berjalan kaki menyusuri pantai, tentulah kita bisa sampai ke Tanjung Bira. Pasir di sini rasanya sangat lembut layaknya bedak bayi. Mungkin ini pasir terlembut yang pernah saya injak. Haha. Pantai-pantai di Bali dan Lombok nggak ada yang selembut ini.

Sayangnya, saat itu kondisinya sangat kotor. Sepanjang pantai penuh dengan sampah bawaan dari laut. Kasusnya sama seperti di Kuta Bali yang sempat heboh beberapa bulan lalu, sampai-sampai Pemkab Badung mendatangkan alat berat buat mengeruk 500 ton sampah. Sampah tersebut berasal dari penumpang kapal yang dengan bodohnya membuang sampah ke laut. Dan pada kondisi tertentu sampah-sampah tersebut terbawa arus laut sampai ke pantai.

Kondisi tersebut tentunya bikin nggak nyaman. Akhirnya kami nggak mau berlama-lama di sana. Langsung aja kami tancap gas menuju Tanjung Bira. Di tengah perjalanan di hutan, kami sempatkan untuk sekedar mampir ke beberapa spot dengan view laut.

Menjelang sunset, sampailah kami di Tanjung Bira. Di perjalanan udah ngerasa kalau di Bira juga bakal banyak sampah. Dan dugaan kami ternyata benar. Kondisinya sama aja! Asem dah udah capek-capek perjalanan jauh dapatnya seperti ini. Hahaha

Tanjung Bira Menjelang Sunset
Tanjung Bira Menjelang Sunset

Yaudah enaknya nongkrong di atas aja. Sunset di Tanjung Bira tetep bisa dinikmatin kok tanpa harus melihat tumpukan sampah. Setelah sunset, kami  kembali ke penginapan untuk mandi dan beristirahat sebentar.

Menikmati Suasana Malam di Tanjung Bira

Malam itu kami makan di sebuah warung bakso Malang. Yup, orang Jawa Timur adalah saingannya orang Padang dalam hal merantau! Di Sulawesi Selatan kami masih sering menemui orang-orang Jawa Timur yang berdagang kuliner, terutama penyet atau pecel lele Lamongan.

Setelah makan malam, kita keluar dari kawasan pantai untuk membeli cemilan di minimarket. Karena harus keluar gerbang, maka kita memastikan diri membawa tiket masuk yang sudah kita punya saat pertama masuk tadi. Daripada nanti disuruh bayar lagi, ogah lah ya! Haha

Kami pun kembali ke Tanjung Bira. Saat itu listrik padam, namun terang bulan. Pas banget untuk yang lagi honeymoon, deh. Romantis! Tahu sendiri lah ya angin malam di pantai itu sepoi-sepoi. Enak banget buat ngobrol bareng pasangan atau teman, atau sekedar bengong sambil menikmati suara debur ombak di bawah sana yang makin malam pasti tambah gede.

Kapal Pinisi dan Warisan Budaya dari Tanah Beru

Keesokan harinya kami berkemas lalu check out dari penginapan. Dan saatnya melihat bagaimana kapal pinisi dibuat! Yay!

Rute menuju Tanah Beru, Bonto Bahari ini adalah rute perjalanan pulang. Dari penginapan memerlukan waktu sekitar setengah jam. Hingga melewati SMP 32 Bonto Bahari kami mengambil jalan masuk ke kiri sampai mentok ke pantai Lomo-lomo. Nah di sepanjang jalur pantainya ini terdapat banyak galangan kapal. Di sinilah kapal-kapal pinisi itu dibuat.

Kapal Pinisi Tanah Beru Bulukumba

Kami menyusuri jalan untuk memilih tempat mana yang akan kami datangi. Saat itu sekitar jam 12-an siang. Kebanyakan pekerjanya sedang beristirahat. Kami memilih kapal yang pekerjanya tampak masih bekerja di kapal. Dengan bermodalkan permisi saja, kami sudah boleh masuk dan melihat-lihat kapal yang sedang dibuat. Hati-hati, lantai kayunya masih licin banget!

Di dalam kapal yang sedang dibangun tersebut, kita bisa ngobrol-ngobrol dengan pekerjanya. Jadi, kapal yang dibuat di sini ada berbagai macam ukuran dan kegunaan. Ada yang dipakai untuk nelayan, ada yang dipakai untuk menangkut penumpang, sampai yang super mewah untuk wisata.

Pembuatan Kapal Pinisi di Tanah Beru Bulukumba
SI Bapak lagi ngerjain kapal

Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarung luas samudera. Menerjang ombak tidak takut. Menempuh badai sudah biasa.

Semua kapal di sini dibuat dari kayu dan secara tradisional tanpa desain komputer. Wow! Mereka berbekal teknik dan pengalaman secara turun-temurun dari masyarakat Bonto Bahari. Memang benar bahwa nenek moyang kita adalah pelaut.

Proses pengerjaan untuk kapal yang paling kecil memakan waktu sekitar 4 bulan. Untuk kapal yang besar bisa sampai bertahun-tahun dan dengan harga yang mencapai miliaran rupiah. Orderannya pun bisa sampai ke luar negeri. Dan memang produsen kapal Pinisi di sni sudah terkenal sampai mancanegara. UNESCO telah mengakui Pinisi sebagai warisan budaya.

Kapal Pinisi Bulukumba
View dari atas kapal.

Warga sekitar sini selain pembuat kapal, ada juga yang menyediakan jasa sailing (berlayar) menuju Labuan Bajo, Lombok, dan Bali menggunakan kapal Pinisi. Oh iya, meskipun pembuatannya secara tradisional, namun kapal-kapal di sini sudah menggunakan tenaga mesin. Biar nggak lemot. Haha

Untuk bahan pembuatan, kayu-kayu didatangkan dari Kendari, mengingat kayu dari Bulukumba sudah susah sekali untuk didapat. Hal ini pula yang terkadang membuat pengerjaan kapal bisa berhenti berminggu-minggu, ketika stok kayu tak kunjung tiba.

Puas melihat-lihat kapal, kami pun berpamitan. Cuaca yang sangat panas di pantai membuat kami ingin jajan es. Sambil minum es, kami berbincang-bincang dengan si ibu penjualnya. Salah satu anaknya ada yang menjadi kapten kapal untuk sailing ke Labuan Bajo. Jadi, kalau kalian ingin sailing dari Bulukumba ke Labuan Bajo bisa datang ke warung es ini. Haha

Oke, petualangan kami di Bulukumba ditutup oleh warung es ini, yang penjualnya adalah si ibu dari Sunda.

Lokasi pembuatan kapal Pinisi di Tanah Beru, Bonto Bahari, Bulukumba

Hai, saya Nasir, seorang freelance designer yang suka jalan-jalan. Dengan bekerja secara independen di beberapa design marketplace, membuat saya bisa membawa pekerjaan kemanapun saya pergi.

1 Comment

Write A Comment

Scroll top