Tana Toraja, salah satu primadona wisata Indonesia ini memiliki kebudayaan yang begitu menarik. Tentang tradisi menghormati kematian seseorang, mulai dari perawatan hingga prosesi pemakaman adat. Dan, pernah kebayang nggak sih, kita masuk ke dalam goa yang isinya tumpukan peti jenazah dan tengkorak-tengkorak yang tergeletak begitu saja?
Di Tana Toraja, tepatnya di kota Rantepao, Toraja Utara, saya mengunjungi dua tempat untuk mendapatkan pengalaman tersebut. Londa dan Lemo.
Kubur Batu Londa
Londa merupakan salah satu situs makam tebing/goa tertua di Toraja dan juga salah satu cara pemakaman terunik di dunia. Terletak sekitar tujuh kilometer di selatan Rantepao, Londa dapat dijangkau dengan mudah, apalagi jika menggunakan kendaraan sewaan seperti yang saya lakukan.
Untuk memasuki kawasan ini, mintalah tolong kepada pemandu lokal untuk mengantarkan masuk ke dalam goa. Begitu memasuki pintu utama, para pemandu lokal ini sudah siap menemani perjalanan saya, dengan membawa alat penerangan tentunya.
Lampu ‘petromax’, itulah alat penerangan yang disediakan oleh pengelola situs makam keluarga ini. Sesampai di pelataran goa, sang pemandu lokal mem-briefing saya tentang peraturan ketika memasuki goa. Yaitu kita tidak boleh memindahkan tulang dan tengkorak yang ada di situs ini. Kalau sekedar menyentuh, seingat saya masih diperbolehkan, bahkan foto bareng tengkorak di spot favorit.
Di area depan goa ini terdapat banyak tumpukan peti kayu. Ada yang masih baru, ada juga yang sudah berusia ratusan tahun. Di bagian atas terdapat susunan boneka kayu seperti yang ada di Kete’ Kesu. Tau-tau, begitu masyarakat Toraja menyebutnya.
Tau-tau dibuat untuk mengenang leluhur yang sudah meninggal. Dan tahukah kamu, karena harga pembuatannya yang mahal, pintu harus ditutup jika sudah malam hari dan dibuka lagi di pagi hari. Katanya sih dulu pernah terjadi pencurian harta yang terdapat di dalamnya.
Goa di sini terdapat dua buah, sebelah kanan dan kiri yang saling terhubung oleh celah sempit. Saya diajak masuk ke pintu goa sebelah kanan, yang ukurannya lebih besar. Sepanjang perjalanan terdapat banyak peti jenazah dan juga tulang belulang.
Sampai di ‘spot favorit’, si abang pemandu menawarkan untuk foto bareng tengkorak. Oh my God. “Serius nih, bang?” tanya saya. Dan si pemandu kami pun dengan santai mengiyakan. Tapi tetap saja saya nggak mau. Hahaha
Oh ya, masyarakat Toraja menganggap orang yang sudah meninggal adalah orang yang sedang sakit. Makanya tak heran jika kita akan melihat banyak terdapat gelas air minum, batang rokok, uang, dan lain sebagainya di dalam peti jenazah.
Semakin dalam kami memasuki goa, semakin rendah dan sempit celah-celah yang kami lalui. Lalu sampailah saya di tempat sepasang jenazah yang legendaris. Orang sini menyebutnya sebagai Romeo and Juliet-nya Toraja. Mereka adalah sepasang kekasih yang bunuh diri karena hubungannya tak direstui. Sebabnya adalah mereka masih dalam satu saudara, meskipun sepupu jauh.
Sampailah kami di ujung goa ini yang berbatasan dengan celah kecil yang menghubungkan goa di sisi satunya. Sebenarnya bisa tembus ke goa sebelah, namun harus dengan merangkak.
Akhirnya kami keluar dengan cara putar balik. Kemudian masuk ke goa di sebelahnya. Ternyata goa yang satu ini tidak sedalam goa yang tadi sudah kami masuki. Dan di sini juga banyak terdapat peti jenazah.
Selain di dalam goa, peti-peti jenazah juga disimpan di bagian atas tebing. Semakin tinggi posisi makam menunjukkan semakin tinggi pula status sosial seseorang di masyarakat Toraja.
Kubur Batu Lemo
Setelah mengunjungi Londa, tak lengkap rasanya jika tidak mengunjungi Lemo, yang juga merupakan salah satu makam tebing tertua di Toraja.
Yang menarik di Lemo ini adalah kita bisa bertemu dengan pengrajin Tau-tau dan melihat boneka kayu dibuat. Kiosnya bisa kita temui di perjalanan masuk menuju ke situs makam tebing Lemo setelah melewati beberapa kios souvenir.
Di kios boneka kayu ini, kita bisa menggali lebih dalam tentang Tau-tau, namun sayang sepertinya si bapakya ini agak pemalu 😀 Tau-tau ini merupakan perwujudan orang yang telah meninggal. Dalam pembuatannya pun membutuhkan beberapa ritual adat.
Namun, saat ini beberapa ritual tersebut ada yang dihilangkan. Dulu, pembuatan boneka kayu ini menggunakan alat pahat dari tanduk kerbau, sekarang bisa menggunakan alat dari besi. Dulu, setelah membuat satu anggota tubuh dari Tau-tau diadakan ritual menyembelih babi, sekarang sudah tidak lagi.
Setelah dari kios boneka kayu, perjalanan berlanjut melewati jalan di tengah sawah. Hingga akhirnya saya sampai di depan makam tebing ini. Kesan pertama adalah makam ini tersusun rapi. Berbeda dengan di Kete’ Kesu maupun Londa. Dan yang pasti terdapat cerukan khusus untuk menempatkan Tau-tau di atas sana.
Tak banyak informasi yang saya gali di sini karena selain tak ada tour guide, saat itu juga sempat hujan. Begitu hujan turun saya langsung kembali ke parkiran.
How to get there
Cara untuk menuju ke Toraja dari Makassar sudah saya tulis di artikel sebelumnya. Nah selanjutnya adalah dari alun-alun Rantepao menuju Londa adalah dengan berkendara ke arah Makale. Setelah sekitar 4,5 kilometer perjalanan, kita akan menemukan petunjuk arah di sebelah kiri jalan.
Kemudian jalan masuk sekitar dua kilometer dengan mengikuti petunjuk arah pun kita akan sampai dengan mudah.
Lokasi Makam Londa
Untuk menuju Lemo, dari jalan poros Rantapao-Makale, perjalanan saya lanjutkan ke arah selatan sekitar 15 menit.
Lokasi Makam Lemo
2 Comments
Luar Biasa…
BTW kunjungan pertama nih Bang, Salam Kenal
Salam kenal juga Bang Batopie.. 🙂